Senin, 20 Februari 2012

Bid`ah itu apa siiiiihhh...????

 
 
 
Telah dibuktikan didalam kitab-kitab para Imam walaupun ada perkara yang telah dikatakan sebagai bid’ah namun perlu diingat bahwa para imam tidak serta merta menjatuhkannya pada status hukum haram, seperti perkataan mereka yakni “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh, bukan haram)”, juga “bid’ah ghairu mustahibbah (bid’ah yang tidak dianjurkan)” maka ini status hukumnya jatuh antara mubah dan makruh. Ada lagi istilah bid’ah munkarah yang hukumnya makruh, dan lain sebagainya.

Kenapa tidak semua bid’ah jatuh pada status hukum haram ? Sebab bid’ah bukanlah hukum (status hukum Islam). Bid’ah adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut perkara baru yang tidak berasal dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam. Adapun hukum Islam ada 5 yakni : wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh dan haram. Ini adalah bahasan tentang status hukum dan penetapannya.

Maka, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap sebagai bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah tersebut, melainkan mereka (ulama) menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut, yakni terkait selaras atau tidaknya dengan kaidah-kaidah syariat. Sehingga nantinya akan terlihat/dapat disimpulkan status hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab sesuatu harus ditetapkan status hukumnya. Nikah pun yang jelas-jelas sunnah Rasulullah, tidak serta merta dihukumi wajib tergantung kondisi dan situasinya. Oleh karena itu bid’ah juga harus ditinjau dengan kaidah syariat dalam menetapkan hukum :

Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)”   ; Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah muharramah (bid’ah yang hukumnya haram)” ;  Jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah)” ; Jika masuk pada kaidah penetapan hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah mustahabbah (bid’ah yang hukumnya sunnah/ mustahab/ mandub)” ; Jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah wajibah (bid’ah yang hukumnya wajib)”.

Sebagaimana Imam an-Nawawi menyebutkan didalam al-Minhaj syarah Shahih Muslim :

قال العلماء البدعة خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة فمن الواجبة نظم أدلة المتكلمين للرد على الملاحدة والمبتدعين وشبه ذلك ومن المندوبة تصنيف كتب العلم وبناء المدارس والربط وغير ذلك ومن المباح التبسط في ألوان الأطعمة وغير ذلك والحرام والمكروه ظاهران وقد أوضحت المسألة بأدلتها المبسوطة في تهذيب الأسماء واللغات
“’Ulama berkata bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian (bagian hukum) yakni wajibah (bid’ah yang wajib), mandubah (bid’ah yang mandub), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (bid’ah yang mubah)”, diantara bid’abh yang wajib adalah  penyusunan dalil oleh ulama mutakallimin (ahli kalam) untuk membantah orang-orang atheis, ahli bid’ah dan seumpamanya; diantara bid’ah mandzubah (bid’ah yang sunnah) adalah mengarang kitab ilmu, membangun madrasah dan tempat ribath serta yang lainnya ; diantara bid’ah yang mubah adalah mengkreasi macam-macam makanan dan yang lainnya, sedangkan bid’ah yang haram dan bid’ah yang makruh, keduanya telah jelas dan telah dijelaskan permasalahannya dengan dalil yang rinci didalam kitab Tahdzibul Asmaa wal Lughaat” [1]

Berikut adalah redaksi dalam kitab Tahdzibul Asma’ wal Lughaat, yang menjelaskan lebih rinci lagi tentang pembagian bid’ah tersebut :

قال الشيخ الإمام المجمع على إمامته وجلالته وتمكنه في أنواع العلوم وبراعته أبو محمد عبد العزيز بن عبد السلام رحمه الله ورضي عنه في آخر كتاب "القواعد": البدعة منقسمة إلى: واجبة، ومحرمة، ومندوبة، ومكروهة، ومباحة. قال: والطريق في ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة، فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة، أو في قواعد التحريم فمحرمة، أو الندب فمندوبة، أو المكروه فمكروهة، أو المباح فمباحة، وللبدع الواجبة أمثلة منها: الاشتغال بعلم النحو الذي يفهم به كلام الله تعالى وكلام رسول الله - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وذلك واجب؛ لأن حفظ الشريعة واجب، ولا يتأتى حفظها إلا بذلك وما لا يتم الواجب إلا به، فهو واجب، الثاني حفظ غريب الكتاب والسنة في اللغة، الثالث تدوين أصول الدين وأصول الفقه، الرابع الكلام في الجرح والتعديل، وتمييز الصحيح من السقيم، وقد دلت قواعد الشريعة على أن حفظ الشريعة فرض كفاية فيما زاد على المتعين ولا يتأتى ذلك إلا بما ذكرناه، وللبدع المحرمة أمثلة منها: مذاهب القدرية والجبرية والمرجئة والمجسمة والرد على هؤلاء من البدع الواجبة، وللبدع المندوبة أمثلة منها إحداث الرُبِط والمدارس، وكل إحسان لم يعهد في العصر الأول، ومنها التراويح، والكلام في دقائق التصوف، وفي الجدل، ومنها جمع المحافل للاستدلال إن قصد بذلك وجه الله تعالى. وللبدع المكروهة أمثلة: كزخرفة المساجد، وتزويق المصاحف، وللبدع المباحة أمثلة: منها المصافحة عقب الصبح والعصر، ومنها: التوسع في اللذيذ من المآكل، والمشارب، والملابس، والمساكن، ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام. وقد يختلف في بعض ذلك فيجعله بعض العلماء من البدع المكروهة، ويجعله آخرون من السنن المفعولة في عهد رسول الله - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فما بعده، وذلك كالاستعاذة في الصلاة والبسملة هذا آخر كلامه
“Syaikhul Imam Abu Muhammad ‘Abdul ‘Aziz bin Abdis Salam didalam akhir kitabnya al-Qawaid berkata : “bid’ah terbagi kepada hukum yang wajib, haram, mandub, makruh dan mubah. Ia berkata : metode yang demikian untuk memaparkan bid’ah berdasarkan kaidah-kaidah syari’ah, sehingga

1.     Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum wajib maka itu bid’ah wajibah,
2.     Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum haram maka itu bid’ah muharramah,
3.     Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mandub maka itu bid’ah mandubah,
4.     Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum makruh maka itu bid’ah makruhah,
5.     Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mubah maka itu bid’ah mubahah.

Diantara contohnya masing-masing adalah ;

1.     Bid’ah Wajibah seperti : menyibukkan diri belajar ilmu-ilmu sehingga dengannya bisa paham firman-firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, itu wajib karena menjaga menjaga syariah itu wajib, dan tidak mungkin menjaga kecuali dengan hal itu, dan sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengannya maka itu wajib, menjaga bahasa asing didalam al-Qur’an dan as-Sunnah, mencatat (membukukan)  ilmu ushuluddin dan ushul fiqh, perkataan tentang jarh dan ta’dil, membedakan yang shahih dari buruk, dan sungguh kaidah syariah menunjukkan bahwa menjaga syariah adalah fardlu kifayah”.

2.     Bid’ah Muharramah seperti : aliran (madzhab) al-Qadariyah, al-Jabariyah, al-Murji’ah, al-Mujassimah, dan membantah mereka termasuk kategori bid’ah yang wajib (bid’ah wajibah).

3.     Bid’ah Mandzubah (Bid’ah yang Sunnah) seperti : membangun tempat-tempat rubath dan madrasah, dan setiap kebaikan yang tidak ada pada masa awal Islam, diantaranya adalah (pelaknasaan) shalat tarawih, perkataan pada detik-detik tashawuf, dan lain sebagainya.

4.     Bid’ah Makruhah seperti : berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushhaf dan lain sebagainya.

5.     Bid’ah Mubahah seperti : bersalaman (berjabat tangan) selesai shalat shubuh dan ‘asar, jenis-jenis makanan dan minuman, pakaian dan kediaman. Dan sungguh telah berselisih pada sebagian yang demikian, sehingga sebagian ‘ulama ada yang memasukkan pada bagian dari bid’ah yang makruh, sedangkan sebagian ulama lainnya memasukkan perkara sunnah yang dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan setelah beliau, dan itu seperti mengucapkan isti’adzah didalam shalat dan basmalah. Ini akhir perkataan beliau. “ [2]

Kesimpulannya sudah jelas yaitu bahwa tidak semua bid’ah dihukumi haram, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status hukumnya. Semua itu karena ternyata ada bid’ah yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, diistilahkan dengan bid’ah hasanah (baik) dan ada juga bid’ah yang bertentangan dengan syariat Islam, di istilahkan dengan bid’ah yang buruk. al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan sebagaimana disebutkan olah al-Muhaddits al-Baihaqi :

أخبرنا أبو سعيد بن أبي عمرو، ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب , ثنا الربيع بن سليمان، قال: قال الشافعي رضي الله عنه: المحدثات من الأمور ضربان: أحدهما: ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا , فهذه لبدعة الضلالة. والثانية: ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا , فهذه محدثة غير مذمومة وقد قال عمر رضي الله عنه في قيام شهر رمضان: «نعمت البدعة هذه» يعني أنها محدثة لم تكن , وإن كانت فليس فيها رد لما مضى
“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Sa’id bin Abu ‘Amr, telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah menceritakan kepada kami ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata : Imam asy-Syafi’i pernah berkata : perkara baru (muhdatsaat) itu terbagi menjadi menjadi dua bagian :
1.     Suatu perkara baru yang menyelisihi al-Qur’an, Sunnah, Atsar atau Ijma’, maka ini termasuk perkara baru yang disebut bid’ah dlalalah, dan
2.     Suatu perkara baru yang baik yang didalamnya tidak menyelisihi dari salah satu tersebut, maka ini perkara baru (muhdats) yang tidak buruk,
dan sungguh Sayyidina ‘Umar radliyallahu ‘anh berkata tentang shalat pada bulan Ramadhan (shalat Tarawih) : “sebaik-baiknya bid’ah adalah ini”, yakni  perkara muhdats yang tidak ada sebelumnya, walaupun keberadaannya tidaklah bertentangan dengan sebelumnya. [3]

Contoh-contoh semacam ungkapan (istilah) seperti diatas begitu banyak dikitab-kitab Ulama, diantaranya sebagaimana yang telah disebutkan. Sehingga menjadi penting ketika membaca perkataan ulama syafi’iyah juga mengerti pembagian bid’ah menurut ulama syafi’iyah. Perincian Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam tersebut kadang berbeda dengan ulama madzhab lainnya, sehingga menyebutnya bukan sebagai bid’ah melainkan sebagai maslahah Mursalah, perbedaan ini terjadi karena memang cara memahaminya pun berbeda walaupun esensinya sebenarnya sama yaitu sama-sama para ‘ulama menerimanya. Perbedaan seperti inilah yang sebenarnya terjadi, bukan seperti kalangan yang selalu menuding-menuding “ini sesat” dan “itu sesat”, bukan seperti pemahaman mereka itu.

LANJUT MASALAH BID’AH

Pembahasan bid’ah adalah sebenarnya pembahasan “usang” yang selalu di gembar-gemborkan oleh beberapa kalangan hingga akhirnya menimbulkan keresahan diantara kaum Muslimin dengan berbagai tudingan yang sebenarnya bermuara pada perbedaan pemahaman dalam memahami esensi dari bid’ah. Misalnya seperti kalangan ulama menolak pembagian bid’ah hasanah, hakikatnya adalah tidak menerima penyebutan bid’ah terhadap masalah yang masih di naungi oleh keumuman nas atau masalah yang masih ada asalnya dari al-Qur’an, as—Sunnah, Ijma’, Qiyas, Mashlahah Mursalah, dan ada fuqaha’ yang menunjuki dalilnya, sehingga menurut mereka, yang seperti ini kenapa harus disebut bid’ah jika ada nasnya (walaupun nas-nya umum).

Sedangkan yang membagi bid’ah hasanah, mereka menganggap bahwa perkara tersebut memang baru (muhdats) yang tidak ada pada masa Rasulullah yang perlu di di tinjau hukumnya sehingga jika selaras dengan esensi al-Qur’an dan As-Sunnah atau masih di naungi dengan nas-nas umum maka berarti itu perkara baru yang baik. Hal ini juga didasarkan pada ungkapan Sayyidina ‘Umar yaitu “ni’amatul bid’ah” juga hadits “man sanna fil Islam”, yang dari sini kemudian muncul istilah bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah atau bid’ah hudaa dan lain sebagainya. Penggunaan istilah bid’ah tidak lain sebagai pembeda antara perkara yang ada pasa masa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam dan yang tidak. Imam an-Nawawi rahimahullah didalam al-Majmu’ juga menjelaskan :

(قوله) صلى الله عليه وسلم " كل بدعة ضلالة " هذا من العام المخصوص لأن البدعة كل ما عمل على غير مثال سبق قال العلماء وهي خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة وقد ذكرت أمثلتها واضحة في تهذيب الأسماء واللغات
“Sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa salam “setiap bid’ah adalah dlalalah (sesat)”, ini bagian dari ‘amun makhshush, karena sesunggguhnya bid’ah adalah setiap perkara yang dilakukan atas tidak adanya contoh sebelumnya, ulama juga berkata : bid’ah terbagi kepada 5 bagian yaitu wajiban, mandzubah, muharramah, makruhah dan mubahah, dan sungguh telah aku sebutkan contoh-contohnya dan telah aku jelaskan didalam kitab Tahdizbul Asmaa’ wal Lughaat”. [4]

Disini Imam an-Nawawi menjelaskan maksud hadits “kullu bid’atin dlalalah” sebagai bentuk yang umum yang di takhshish (dikhususkan) oleh hadits-hadits lainnya. Adapun salah satu hadits yang menjadi takhsish terhadapnya adalah sebagaimana yang telah beliau sebutkan penjelasannya didalam Syarh Shahih Imam Muslim :

وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه وسلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة وقد سبق بيان هذا في كتاب صلاة الجمعة وذكرنا هناك أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة
Dan dalam hadits ini (man sanna fil Islam) [5] merupakan takhsish terhadap sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam “setiap perkara baru (muhdats) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah dlalalah (sesat)”, sesungguhnya yang dimaksud dengannya adalah perkara-perkara baru yang bathil dan bid’ah madzmumah (buruk), dan telah berlalu penjelasan masalah ini pada kitab Shalat Jum’at, dan kami telah menuturkan disana bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian yakni wajibah, mandzubah, muharramah, makruhah dan mubahah”. [6]

Sehingga dari itu, dapat dipahami bahwa istilah sunnah sayyi’ah pada hadits “man sanna fil Islam”  sebenarnya merupakan bid’ah yang buruk, karena mensunnahkan atau mencetuskan sesuatu baru yang buruk didalam Islam. Adapun para sahabat Nabi sendiri, mensunnahkan atau mencetuskan sesuatu yang baik Islam. Oleh karena itu, bid’ah yang dimaksudkan pada hadits yang masih umum tersebut adalah bid’ah madzmumah atau perkara muhdats yang bathil.

Pendefinisian Bid’ah

Imam an-Nawawi mengatakan bid’ah sebagai perbuatan yang tidak ada contoh sebelumnya,

أن البدعة كل ما عمل على غير مثال سبق
setiap perkara yang dilakukan yang mana padanya tidak ada contoh sebelumnya[7]

dan didalam Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat, beliau mendefinisikan :

بدع: البِدعة بكسر الباء في الشرع هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وهي منقسمة إلى: حسنة وقبيحة
“Bid’ah didalam syara’ adalah mengada-adakan perkara yang tidak ada pada masa Rasulullah shalullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi hasanah dan qabihah”. [8]

Sulthanul ‘Ulamaa’ al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam didalam kitabnya Qawa’idul Ahkam mendefinisikan bid’ah sebagai berikut :

البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله - صلى الله عليه وسلم -. وهي منقسمة إلى: بدعة واجبة، وبدعة محرمة، وبدعة مندوبة، وبدعة مكروهة، وبدعة مباحة، والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة
“Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak ada masa masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi ; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandzubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah, sedangkan metode dalam mengetahui pembagian yang demikian untuk menjelaskan bid’ah berdasarkan kaidah-kaidah syariah”. [9]

Berdasarkan definisi ini, setiap sesuatu apapun terkait syara’ yang tidak ada pada masa Rasulullah maka itu dinamakan sebagai bid’ah. Sehingga apa yang dilakukan hanya atas inisiatif sahabat Nabi pasca wafatnya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, itu adalah perkara baru yang bid’ah. Namun perlu di ketahui, bahwa perkara baru ini dilakukan oleh sahabat Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, yang mana para sahabat merupakan orang-orang yang mendapatkan petunjuk sehingga perkara baru yang mereka lakukan walaupun kadang terjadi perselisihan diantara mereka tetap saja disebut sebagai sunnah. Yaitu bid’ah yang hakikatnya adalah sunnah. [10] Sunnah yang dimaksud adalah sunnah dalam pengertian kebiasaan umum bukan khusus. Sebab dalam pengertian khusus hanya di sandarkan pada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir beliau.

Definisi ulama lainnya memang ada kemungkinan berbeda tergantung dari sudut pandang apa mereka mendefinisikannya, sehingga nantinya cara memahami pun akan terjadi perbedaan namun pada hakikatnya sebenarnya sama. [11]


[1] Lihat : syarah Shahih Muslim lil-Imam an-Nawawi [6/154-155].
[2] Lihat : Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat lil-Imam an-Nawawi [3/22-23] ; Qawaidul Ahkam lil-Imam ‘Izzuddin bin Abdis Salam [2/ 204]
[3] Lihat : al-Madkhal ilaa Sunanil Kubraa lil-Imam al-Baihaqi [253] ; disebutkan juga didalam Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat [3/23]
[4] Lihat ; al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab [4/519] Imam an-Nawawi
[5] Hadits yang dimaksud adalah (HR. Musim 4/2059).

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“barangsiapa mensunnahkan/mencetuskan (sanna) didalam Islam sunnah hasanah (sunnah yang baik) kemudian orang setelahnya mengamalkannya, niscaya ditulis baginya seumpama pahala orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi sesuatu pun dari pahala mereka, dan barangsiapa yang mensunnahkan/mencetuskan (sanna) didalam Islam sunnah sayyi’ah (sunnah yang buruk) kemudian orang setelahnya mengamalkanya, maka ditulis atasnya seumpama dosa orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi sesuatu pun dari dosa mereka”.

[6] Lihat : al-Minhaj syarh Shahih Muslim [7/104] Imam Nawawi
[7] Lihat : al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab [4/519] Imam an-Nawawi
[8] Lihat : Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat [3/22] Imam an-Nawawi
[9] Lihat : Qawaidul Ahkaam lil-Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam [2/204].
[10] Maksud dari bid’ah yang hakikatnya sunnah yaitu ; karena perkara tersebut tidak dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa salam, namun hanya dilakukan pada masa setelah Rasulullah. Contohnya seperti pelaksanaan shalat tarawih. Shalat Tawarih adalah perbuatan (sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, namun Rasulullah meninggalkannya dan para sahabat juga tidak berjama’ah (shalat tarawih berkumpul) pada pelaksaan shalat tarawih tersebut, bahkan tidak ada pada masa Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq. Maka, karena tidak ada masa Rasulullah, pelaksanaan tarawih dengan cara berjama’ah tersebut dinamakan sebagai bid’ah yaitu ni’amatul bid’ah (sebaik-baiknya bid’ah). Haqiqatnya adalah sunnah, berdasarkan sabda Nabi tentang sunnah Khulafaur Rasyidin. Didalam Lisanul ‘Arab [ [8/6] disebutkan:

قد جعل له في ذلك ثوابا فقال :  من سن سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها، وقال في ضده : من سن سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها، وذلك إذا كان في خلاف ما أمر الله به ورسوله، قال: ومن هذا النوع قول عمر، رضي الله عنه: نعمت البدعة هذه، لما كانت من أفعال الخير وداخلة في حيز المدح سماها بدعة ومدحها لأن النبي، صلى الله عليه وسلم، لم يسنها لهم، وإنما صلاها ليالي ثم تركها ولم يحافظ عليها ولا جمع الناس لها ولا كانت في زمن أبي بكر وإنما عمر، رضي الله عنهما، جمع الناس عليها وندبهم إليها فبهذا سماها بدعة، وهي على الحقيقة سنة لقوله، صلى الله عليه وسلم، عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي
“Dalam hal itu sungguh dijadikan pahala baginya, dikatakan : “barangsiapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka baginya pahala dan pahala orang yang mengamalkannya” dan perkataan kebalikannya adalah : “barangsiapa yang mensunnahkan sunnah sayyi’ah maka baginya dosa dan dosa orang yang mengamalkannya”, dan itu apabila menyelisihi apa-apa yang Allah dan Rasul-Nya perintahkan, juga ia berkata : dan termasuk dari ragam hal ini yaitu ucapan Sayyidina ‘Umar radliyallahu ‘anh : “ni’matul bid’ah hadzihi (sebaik-baiknya bid’ah adalah ini)”, maka ketika suatu perkara termasuk dari perbuatan-perbuatan baik dan termasuk dalam perkara yang terpuji maka dinamakan bid’ah dan terpujinya karena Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak mensunnah bagi mereka, sebab beliau hanya shalat tarawih pada malamnya, kemudian meninggalkannya dan tidak menjaganya (tidak melanggengkannya), tidak pula mengumpulkan manusia, bahkan tidak ada pada zaman Abu Bakar, namun Sayyidina ‘Umar mengumpulkan manusia pada shalat tarawih dan mensunnahkan melakukannya maka dari inilah dinamakan sebagai bid’ah, dan itu pada haqiqatnya adalah sunnah, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam : “hendaklah mengikuti sunnahku dan sunnah khulafaur Rasyidiin setelahku”. []

[11] Misalnya : al-‘Imam ‘Ayni al-Hanafi didalam ‘Umdatul Qari syarh Shahih Bukhari [5/230] menjelaskan :

البدعة لغة: كل شيء عمل علي غير مثال سابق، وشرعا إحداث ما لم يكن له أصل في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم، وهي عل قسمين: بدعة ضلالة، وهي التي ذكرنا، وبدعة حسنة: وهي ما رآه المؤمنون حسنا ولا يكون مخالفا للكتاب أو السنة أو الأثر أو الإجماع
“Bid’ah dari segi lughah : setiap sesuatu amalan tanpa contoh sebelumnya. Sedangkan dari segi syara’ : mengada-adakan perkara yang tidak ada asal pada perkara tersebut di masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi 2 bagian yaitu : bid’ah dlalalah, itu yang telah kami sebutkan, dan bid’ah hasanah, yakni suatu perkara yang orang mukmin memandangnya sebagai kebaikan (hasanah) dan perkara tersebut tidak menyelisihi al-Qur’an atau As-Sunnah atau Atsar atau Ijma’.

Berdasarkan definisi ini, setiap perkara yang tidak ada asalnya pada masa Rasulullah maka itu bid’ah menurut segi syariat, dan berdasarkan segi syariat  pula maka bid’ah terbagi menjadi dua yakni hasanah dan dlalalah. Pada halaman berikutnya [25/ 37], Imam al-‘Ayni juga menyebutkan :

قوله: والبدع جمع بدعة وهي ما لم يكن له أصل في الكتاب والسنة، وقيل: إظهار شيء لم يكن في عهد رسول الله ولا في زمن الصحابة، رضي الله تعالى عنهم
“bid’ah yaitu suatu perkara yang tidak ada asalnya pada perkara tersebut didalam al-Qur’an dan As-Sunnah, dan dikatakan : menampakkan sesuatu yang tidak ada pada masa Rasulullah dan tidak pula pada zaman shahabat radliyallahu ta’alaa ‘anhum”.

Berdasarkan definisi yang berbeda ini (qil), yang mana lebih longgar dalam pendefinisiannya yaitu ; jikalau ada asalnya pada zaman Nabi dan zaman sahabat maka itu bukan bid’ah, namun apabila tidak ada asalnya pada zaman Nabi dan zaman sahabat maka itu bid’ah. Jadi, definisi ini menyertakan perbuatan yang ada masa sahabat sebagai perkara yang bukan bid’ah. Tentu saja hal ini berdasarkan pengertian sunnah yang umum, bukan yang khusus (Sunnah : Qaul, Fi’il & Taqrir Nabi saja) yaitu berdasarkan hadits ;

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“hendaklah kalian (berpegang) atas sunnahku (Nabi Muhammad) dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin al-Mahdiyyin, gigitlah oleh kalian dengan gigi geraham, dan jauhilah oleh kalian perkar-perkara baru yang diada-adakan, sebab sungguh setiap perkara muhdats adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah dlalalah” [HR. Musnad Ahmad]

Bagaimana sikap saya terhadap tuduhan kafir, musyrik, penyembah kuburan dan ahlul bid’ah yang ditujukan kepada mayoritas kaum muslimin Indonesia?  Duh…, memang ini problem yang benar-benar terus berkecamuk di tengah –tengah Ummat Islam. Efek fitnahnya sungguh luar biasa. Tapi alhamdulillah, insya Allah Ummat Islam bisa bersabar akan semuanya itu. Bahkan secara pribadi saya mengapresiasi semua tuduhan miring yang terkadang kelewat kasar dalam penyampaiannya. Lewat tulisan ini sebenarnya saya ingin memberikan suatu wacana yang agak sejuk. Saya akan tetap khusnudzhon jika seandainya ada yang tidak menerima. Artinya ya tidak apa-apa, gitu lho, saya tidak akan emosi….

Atau saya tidak akan berbalik menyesatkan Para Penuduh karena berbeda dengan saya. Sungguh, saya sadar Ummat Islam pun berhak beribadah dengan cara yang diyakininya, yang diajarkan oleh guru-gurunya yang menurut mereka benar. Cuma pesan saya, setelah membaca tulisan ini hendaknya jangan terlalu gemar mennyesatkan atau membid’ahkan atau memvonis  orang lain sesat hanya karena berbeda pandangan. Nah, saya untuk selanjutnya akan sering berganti nama menjadi “kami”, sebab saya akan mencoba mewakili aspirasi orang-orang yang saya bela dalam tulisan ini.
Kami sering mendengar, begitu mudahnya orang menuduh ahlul bid’ah kepada orang lain. Tidak sadarkah kalau tuduhan itu akan memunculkan fitnah? Sebaiknya  dipelajari dulu apa yang kami lakukan. Jangan asal gebyah uyah atau hantam kromo, atau pukul rata dalam menudingkan segala tuduhan itu. Jangan memulai perkara jika tidak ada dasarnya yang komprehensif. Coba contoh Ibnu Taimiyah (inspirator faham salafy yang kemudian dilanjutkan fahamnya oleh Syeikh Muhammad bin Wahab yang menurut Imam Abu Zahroh sudah tidak seperti Ibnu Taimiyah lagi. Betapa mudahnya membid’ahkan apa yang di perbolehkan’ agama, sehingga melahirkan banyak perdebatan sampai sekarang).
Ya, Ibnu Taimiyah tidak seperti pengikutnya sekarang. Beliau memang ekspresif dalam tutur kata tetapi bergaul luas, tidak over protektif.  Dia sebagai seorang prajurit sekaligus ulama,  wajar bila bawaannyaWahabi. Jadi yang perlu diluruskan lagi adalah vonis ahlul bid’ah  kepada kami. Atau kepada ratiban Al-Haddad kami, tahlilan kami, yasinan kami, ziarah kubur kami, zikir bersama kami, biji tasbih kami, tawassul kami…. keras dan extrim, tetapi semua ada batasan. Bisa dibaca di buku biografi Ibnu Taimiyah karangan Imam Muhaddits Abu Zahroh bab terakhir tentang

Dulu kami khusu’ dalam keihlasan dengan kebiasaan amalan kami tersebut. Tetapi setelah diserbu wahabisme dari ”arab saudi”, sekitar tahun 70 atau 80-an hingga kini, suasana menjadi panas. Tidak nyaman dihujani lontaran fitnah-fitnah kebid’ahan dan kemusyrikan. Padahal sudah dijelaskan dalil-dalil tentang perbuatan tercela ini oleh Ibnu hajar, Imam Hakim di dalam kitab al-Mustadroknya, Al-Baihaqi, As-Suyuthi (pengarang Al-Itqan Fii Ulumi Al-Qur’an, biasanya kitab ini di pelajari oleh Mufassir sebagai kaedah dasar selain kitab Al-Burhan-nya Az-Zarkasyi), Ibnu Jauzi dalam kitab Al-Wafa’, As-Syaukani, Qodli ‘Iyadl, Imam Nawawi penyusun hadits arba’in, imam jazairi, Az-Zarqoni, Imam Ibnu Katsir, Al-Qurtubi, dan banyak lagi.
Semua penjelasannya bisa dibaca secara komprehensif pada karangan-karangan mereka. Bisa juga dibaca di dalam kitab Mafaahim Yujiibu An Tushahhah karya Dr. Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani, Cet As-Sofwah, Mekkah al-Mukarromah, Hal 171. Dan banyak lagi kitab-kitab lain yang tidak saya tuliskan disini.

******

Walhasil pada kenyataannya, semua akan merasa benar sendiri. Termasuk orang kafir pun akan merasa benar dengan apa yang mereka yakini. Tidak terkecuali anda wahai saudara kami. Jadi kalau saya merasa benar itu semata-mata hanya “dzon” dan dzon itu adalah sebagaian dari keyakinan. Anda heran kan, kok bisa dzon sebagian dari keyakinan? Itulah kaedah tafsir. Bisa dilihat di kitab Al-Burhan bab Az-Dzon dan Kitab Usul Fiqh manapun. Tapi bukan dzon yang selama ini kita fahami, namun inilah banyak orang salah interpretasi tentang terma dzon. Beda antara dzon yang di Al-Qur’an yang dilarang dengan dzondzon tersebut, saya tidak serta merta menyesatkan atau membid’ahkan orang lain. Karena saya yakin seseorang  pun mempunyai “dzon” dalam kaidah Ushul dan Tafsir. Saya lanjutkan, walaupun saya yang memiliki itu, walau berbeda realitanya dengan kami.
Jadi maksud saya adalah tidak usah latah membid’ahkan orang sebelum mendengar argumennya. Jangan membid’ahkan atau menyesatkan orang kalau hanya berbeda dengan anda. Yah, jelasnya ialah hendaknya kita harus banyak mendengarkan orang, dan jangan hanya maunya di dengar. Dari awal pastinya ada yang sinis dan menganggap tulisan ini berdasar hawa nafsu, sebab saya tidak menyebutkan hadis atau Ayat Al-Qur’an sebagai hujjah. Saya katakan, bagaimana akan saya sebutkan sesuatu yang tidak ada relevansinya yang jika dipaksakan justru akan bikin bingung?

Selain Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai hujjah, ada Ijma’ dan Qiyas. Inilah kesepakatan ulama-ulama Ahlus Sunnah Wal-Jama’ah. Adapun Ijma’  itu sudah ada sejak pada zaman Sahabat. Misalnya: ketika Muaz bin Jabal dikirim ke Yaman. Atau masalah perbedaan interpretasi Sahabat tentang shalat asar di bani quraidzoh dan lain-lain. Walaupun masih sedikit jumlahnya, namun menunjukkan adanya masalah ijma’. Tetapi ketika ada yang berkata bahwa ada qiyas di zaman sahabat, rasanya saya baru mendengar ada Qiyas di zaman Sahabat. Ah, mungkin saya saja yang belum banyak belajar dan mengikuti halaqoh pengajian serta tidak banyak mendengarkan orang.
Tetapi yang saya tahu Qiyas itu mempunyai kaidah-kaidah ushul fiqh yang harus ditaati dan dipenuhi syarat-syaratnya yang ketat. Jadi tidak sembarangan asal ‘kutip’ lalu berkata: ini qiyasnya! Dan Ilmu Ushul Fiqh itu belum ada pada zaman Rasul Muhammad Saw, tetapi secara praktek sudah ada. Nah, berdasar praktek-praktek itulah maka Ilmu Ushul Fiqh itu disusun secara sistematik.

Narik becak, ngojek sepeda ontel, jadi badut di Taman Mini juga tidak ada di zaman Rasul SAW. Tetapi pekerjaan ini bisa bernilai ibadah jika diniatkan ibadah dengan ikhlas dan tidak melanggar apa yang diharamkan serta tidak menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah. Dan Ibadah akan mendapat balasan dari Allah. Hukum ibadah dalam contoh di atas berdasarkan qiyas (analogi).
Kemudian yang namanya syubhat itu artinya tidak jelas. Tidak menampilkan komentar saya atau komentar saudara-saudara saya yang lain dalam blog anda, itu juga namanya berusaha untuk berbuat syubhat. Apakah karena kami berbeda dengan Anda, lalu untuk memproteksi jama’ah anda maka komentar kami dikrangkeng? Ini artinya anda berusaha menyembunyikan kesyubhatan yang ingin kami jelaskan. Kami tidak mau kesyubhatan merajalela di dunia Islam, khusunya di Indonesia yang kita rebut dari Belanda dan Jepang dengan darah ulama, santri serta darah masyarakat Indonesia yang lain.

Saya beri contoh suatu yang syubhat selain syubhat diatas: Syekh Al-Albani mengatakan shalat ba’diyah asar itu adalah Sunnah (lihat silsilah al-Ahadits ash-Shahihah juz 6 halaman 1013-1014). Syeihk bin Baz mengatakan shalat ba’diyah asar itu Haram (lihat Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutranawwiyah Syaihk bin Baz Juz 11 Hal. 286). Kemudian Seikh Utsaimin berkata: “Shalat asar itu tidak memiliki rawatib baik qobliyah maupun ba’diyah. Yang disunnatkan bagi manusia adalah shalat dua rakaat sebelumnya sebagai shalat mutlaq. Dan apabila anda tidak mendapatkan shalat tersebut sebelum shalat asar, anda jangan mengerjakannya setelah asar karena diharamkan kepada siapapun menunaikan sholat sunnat pada waktu-waktu yang terlarang kecuali shalat yang memiliki sebab berdasarkan sabda Nabi: Tidak ada sholat setela asar hingga terbenam matahari”. Lihat Majmu’ Fatawa Wal-Rasail syekh Utaimin juz 14 hal. 343-344)
Nah, bingung kan?

Akhina yang terhormat, ini lho satu contoh dari suatu yang nggak jelas atau syubhat. Dan banyak lagi yang lebih dari pada ini. Di dalam satu mazhab saja banyak kontraversi. Dan Ummat ini mau dibawa kemana bila Syeikh-syeikhnya saja tidak jelas? Bila Imam saling berlawanan dan bentrok pendapat, maka kasihan pengikutnya. Apakah tidak takut tersesat? Lalu siapa yang harus diikuti? Dalam kasus shalat sunnat asar di atas, menurut Al-Albani Sunnah, berarti dapat pahala. Menurut Bin Baz Haram, berarti dosa. Sedangkan menurut Syeikh Utsaimin tidak ada dalilnya, berarti bid’ah. Nah, kan bingung? Mungkin ini hanya wacana saja untuk sekedar jadi renungan hangat bagi mereka yang hoby menuduh bid’ah dan mencela  jama’ah lain. Ingatlah Anda sendiri secara factual masih di dalam kesyubhatan yang benar-benar aktual!

Wallahu  Ta'ala A’lam.


Sumber : http://ashhabur-royi.blogspot.com/2011/04/tidak-setiap-bidah-dihukumi-haram.html dengan penambahan seperlunya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar