KARAMAH selalu menjadi perkara yg kontroversial.
Ada banyak cara untuk menafsirkan kisah karamah, tergantung pada aspek
mana yang akan kita lihat dan dasar apa yang kita pakai. Jika kita
memandang karamah sebagai kisah ilusif atau dongeng belaka, maka tafsir
kita akan berbeda dengan jika kita mempercayai bahwa karamah wali Allah
adalah “riil” atau benar-benar terjadi. Dalam hal ini saya menganut
paham bahwa karamah wali Allah adalah benar pernah terjadi, dan masih
akan terus terjadi, selama masih ada Wali Allah, dan benar menurut
ajaran Islam. Dan kisah karamah adalah sesuatu yang mengandung
pelajaran, bagi orang yang mau merenungkannya dengan kerendahan hati dan
bagi orang yg tidak menyombongkan kekuatan akal-rasionalnya.
Apa yang saya tulis di sini HANYA SALAH SATU contoh saja dari tafsir
atas teks “karamah” yang merupakan bagian dari ayat Allah. Karenanya,
ini bukan satu-satunya tafsir yang bisa kita ajukan. Pada titik
tertentu, bagaimanapun juga, tafsir ini masih pada level “spekulasi,”
sebab penafsiran oleh orang yang tidak mengalami atau melakukan langsung
tindakan karamah tidak bisa disamakan dengan hakikat tindak karamah itu
sendiri. Jadinya, tidak ada kebenaran absolut dalam tafsir ini. Dan
kalaupun ada, tentunya itu atas seizin Allah, dan jika salah tentunya
dari keterbatasan si penafsir.
[Kisah wali yang memindahkan takdir. ]
Secara ringkas saja, ini cerita tentang karamah sulthan al-awliya ghauts
al-adham qutb al-alam Syekh Abdul Qadir al-Jilani q.s. Seorang pedagang
diwanti-wanti oleh wali agar tidak melakukan perjalanan dagang karena
akan dirampok dan dipenggal lehernya. Si pedagang resah dan menemui
Syekh Abdul Qadir. Syekh Abdul Qadir menyuruhnya tetap berdagang. Seusai
berdagang, lelaki itu untung besar dan pulang. Dalam perjalanan pulang
dia mampir ke wc umum untuk kencing, kemudian berangkat lagi. Tetapi
uang hasil dagangnya ketinggalan di wc. Di tengah jalan dia tertidur di
bawah pohon dan bermimpi dirinya dirampok dan dipenggal lehernya. Dia
bangun dan di lehernya ada bekas sayatan. Dia bersyukur itu hanya mimpi,
lalu teringat pada uangnya. Dia bergegas mengambil uangnya, lalu pulang
dan selamat sampai rumah. Dia menceritakan hal ini pada wali pertama
yang melarangnya pergi. Kata wali itu, ‘Syekh Abdul Qadir mendoakanmu 17
kali agar kau selamat.” Lalu si pedagang menemui syekh Abdul Qadir.
Kata Syekh, “benar, aku doakan 17 kali agar engkau selamat, lalu
kutambah 70 kali doa. Karenanya, takdirmu dipindahkan dan hanya terjadi
di alam mimpi.”
----- --
Pelajaran apa yang bisa dipetik dari kisah yang mirip dongeng nina bobo
ini? Di satu sisi, ada pelajaran praktis bagi kita, dan di sisi lain ada
pelajaran teoritis bagi siapa saja yang mau mendalami kajian tasawuf.
Pelajaran teoritisnya: Secara teori, kejadian ini sesuai dengan beberapa
konsep yang terkenal luas di dalam ajaran tasawuf. Penjelasannya akan
amat panjang, karena kita harus menengok pada beberapa tema utama yang
berhubungan dengan kejadian ajaib ini: a’yan tsabitah, wahidiyyah atau
Nur Muhammad, alam mitsal, ilmu ru’yah as-shadiqah (mimpi yang benar,
yang merupakan 1/46 kenabian), doa dan zikir yang diulang-ulang, dan
tentunya soal takdir yang pelik. Agar ringkas, dengan resiko mengabaikan
banyak hal yang mesti dijelaskan, saya coba padatkan “spekulasi” tafsir
atas kisah ini. maka dengan amat terpaksa penjelasan tafsir ini mesti
berputar-putar dan ditarik sedikit ke belakang hingga ke dasar konsep
yang dipakai.
Sunnatullah, atau hal-hal yang sudah digariskan dalam hukum alam
(seperti batu jatuh ke bawah, manusia tak bisa terbang) sesungguhnya
adalah manifestasi atau perwujudan beragam “kemungkinan” dalam
Pengetahuan Tuhan.
“batu” itu sendiri adalah sesuatu yang sudah diketahui oleh Tuhan dalam
khazanah Pengetahuan-Nya. Pengetahuan atau ilmu-Nya tentang “batu”
tentu mendahului terciptanya “batu,” sebab jika tidak ada pengetahuan
tentang batu, bagaimana Dia “menciptakan” batu? Ketika Dzat “mengenali”
potensi-Nya (ta’aayun awwal) maka potensi ini menjadi sesuatu “yang
diketahui.” Batu menjadi obyek dari pengetahuan Tuhan, tetapi belum
diberi bentuk aktual. Ini dalam tasawuf dinamakan al-a’yan al-tsabitah
(entitas yang permanen). Karena ia ada dalam pengetahuan Tuhan, maka
al-a’yan ini belum mendapatkan wujud lahir (konkrit), masih potensi yang
kekal dalam pengetahuan-Nya.
A’yan al-tsabitah ini pada dasarnya potensi (kemungkinan) yang kekal,
maka ia bisa menjadi aktual (konkrit) tetapi bisa juga tidak. Dan itu
tergantung pada Kehendak-Nya (iradah-Nya). Meskipun disifati dengan
kepermanenan, a’yan tidak disifati dengan wujud, yakni ia tetap dalam
keadaan yang disifati dengan ketiadaan– seperti dikatakan Ibn ‘Arabi,
“A’yan tidak pernah membaui wewangian eksistensi (wujud).” Jadi, a'yan
tsabita, dalam ketiadaan eksistensinya siap menerima wujud.
Karena tajalli-Nya tidak terbatas, maka dalam satu pengertian, yakni
dari sudut pandang pengetahuan Tuhan, sunnatullah pada hakikatnya adalah
sesuatu yang mengandung kemungkinan yang tiada batasnya. Jadinya ini
adalah “wilayah” beroperasinya “ikhtiar” manusia, dalam bentuk doa atau
aktivitas keseharian. Karenanya ada kemungkinan bahwa sesuatu yang sudah
diketahui dan ditentukan dalam pengetahuan-Nya di a’yan tsabita boleh
jadi tidak diwujudkan secara material, atau bisa juga sesuatu kejadian
yang sudah ditentukan materi dan sifatnya itu “diubah” atau “digeser”
menuju ke kemungkinan kejadian lain, atau ke alam lain yang berada di
luar alam ajsam (alam dunia).
Ada banyak cara yang “disediakan” oleh Tuhan kepada manusia untuk
“menggeser” atau “mengganti” potensi itu, dan salah satunya adalah
zikir/doa. Doa dan zikir tidak mengubah sebuah takdir azali, tetapi
“menggantikan” kemungkinan perwujudan atau manifestasi takdir yang sudah
ditentukan. Contoh, salah satu “kemungkinan” dari perspektif Ilahi itu
adalah batu akan jatuh ke bawah jika dilempar. Contoh lain, manusia
dalam aspek lahiriahnya secara sunnatullah tak bisa terbang. Ini adalah
hukum “alam” lahiriah. Tetapi, jangan lupa bahwa ada alam di luar “alam
lahir”, yakni alam “gaib” yg tak bisa kita indera dengan panca indera
biasa. Alam gaib ini terdiri dari banyak alam. Proses aktualisasi a’yan
al-tsabitah menjadi wujud konkrit (material) adalah melalui Tajalli,
atau melalui emanasi (gradasi). Salah tahapan yang dilalui dalam alam
gaib itu adalah alam mitsal. Ini adalah alam di mana sesuatu yang
material (lahiriah) dispiritualkan, dan sesuatu yang spiritual
(ruhaniah) dimaterialkan. Artinya, ini adalah wilayah di mana “hal-hal
yang mungkin” siap untuk menerima wujud sebagaimana yg diketahui oleh
Allah. Salah satu kemungkinan itu menjadi sunnatullah dalam batasan
ruang dan waktu – maka, batu atau manusia tidak bisa terbang, dan jika
dilempar ke atas akan jatuh kembali ke tanah. Ini sunnatullah. Namun
sunnatullah dalam konteks ini hanya terjadi dalam batasan ruang dan
waktu, atau berlaku dalam konteks momen di mana hukum tertentu berlaku.
Jika ruang dan waktu yang juga bagian dari sunnatullah itu diambil atau
dihapus, maka sunnatullah yang menentukan batu dan manusia jatuh ke
bawah tidak akan berlaku lagi. Maka batu bisa mengambil bentuk dan sifat
yang beragam. Batu bisa jadi bicara, atau manusia bisa terbang.
Maka, Nabi dalam sebuah hadits mengatakan, “Doa itu bergulat dengan
takdir.” Jadinya yang lebih kuat akan “menang.” Pada titik tertentu,
dengan berbagai macam syarat (yang terlalu panjang untuk diuraikan), doa
dan zikir bisa mengubah aktualitas sesuatu, yang sesungguhnya “relatif”
dari sudut pandang momen, tetapi “azali” dari sudut pandang Ilahi. Dan,
pada level yang lebih tinggi, yang hanya bisa dicapai oleh orang-orang
elit ruhani (khawas al-khawas) yakni nabi dan para awliya, sebuah tindak
ibadah akan melenyapkan hukum sebab-akibat (di sini perlu diingat
hadits: doa adalah otak ibadah, dan doa adalah senjata mukmin). Maka
Maryam yang telah mencapai level ini mendapatkan hidangan tanpa ikhtiar
keduniawian atau tanpa sebab yg bersifat kausalistik.. Ada banyak wali
Allah yang tiba-tiba mendapat makanan langsung tanpa usaha apapun dari
pihak dirinya. Tetapi, kondisi ini bukan sebuah norma, tetapi ini
adalah PENGECUALIAN, dan karenanya tidak bisa dijadikan hujah untuk
menjustifikasi kemalasan dan putus asa.
Dengan menggeser aktualisasi dari Tajalli-Nya ke wilayah di luar batas
ruang dan waktu, maka sunnatullah di alam lahir menjadi tidak berlaku,
dan muncullah apa yang dinamakan khawariq al-adah (penyimpangan dari
kebiasaan). Dengan kata lain, meski dari sudut pandang ciptaan jelas
bahwa manusia tak bisa terbang, namun dari sudut pandang Ilahi,
sunnatullah yang menetapkan bahwa manusia tidak bisa terbang hanyalah
merupakan salah satu dari sekian banyak “kemungkinan” yang ada dalam
ilmu-Nya yang tak terbatas. Itu berarti, selalu ada peluang untuk
menggeser “kemungkinan” ini menjadi “kemungkinan” yang lain, yakni dari
manusia yg tak bisa terbang, menjadi bisa terbang. Jadi, selalu ada
kemungkinan untuk memindahkan bencana yang sudah ditetapkan ke bencana
lain yang lebih ringan, atau memindahkan bencana itu ke alam “lain”
sehingga tak memengaruhi alam lahir, atau bahkan selalu ada kemungkinan
menghapus bencana yang sudah ditetapkan. Maka Rasulullah pernah
mengatakan bahwa “sedekah itu menolak bencana.” Itu bukan berarti bahwa
bencana itu belum dtakdirkan. Tetapi itu berarti bahwa bencana tetap
ada, namun karena bagi Tuhan bencana itu hanyalah suatu kemungkinan di
dalam pengetahuan a’yan al-tsabitah, maka bencana itu bisa ditangkal
atau bahkan digantikan oleh sesuatu yang lebih baik melalui mekanisme
sedekah.
Karena doa itu “bergulat” dengan takdir, maka manusia mesti memperkuat
doa agar menang (Syekh Abdul Qadir mengulang doanya hingga 70 kali
lebih). Syarat terkabulnya, yang umum tentu dengan tazkiah nafs,
mensucikan hati, menjauhi maksiat, ibadah dan sebagainya. Yang khusus,
dengan mengulang-ulang doa dan zikir. Nabi memerintahkan agar kita
berdoa berulang-ulang tanpa henti disertai ikhtiar. Pengulangan adalah
sesuatu yang amat penting.
Jika mau ditelaah lebih lanjut, semua bentuk amalan ini, dalam analisis
terakhir, akan mempengaruhi jalan hidup dan cara pandang kita, dan
bahkan, insya Allah, mempengaruhi eksistensi kita, di dunia dan akhirat.
Dan kisah keramat wali Allah adalah “manifestasi” dari berbagai macam
konsep dan ajaran, sebab karamah itu tidak muncul begitu saja, tetapi
ada proses dibaliknya. Dan meski karamah bukan tujuan, namun ia eksis
sebagai hujah, sebagai ayat, bagi siapa yang mau berpikir (ulil albab) –
sebab karamah pada hakikatnya adalah “ciptaan” Allah juga, dan “segala
sesuatu tidak diciptakan dengan sia-sia,” demikian firman Tuhan.
Karamah ini berbeda dengan mu’jizat. Mu’jizat biasanya didahului oleh
suatu tantangan hebat (tahaddi), sedangkan karamah tidak. Tetapi karamah
itu sendiri adalah bagian dari mu’jizat nabi yang tersimpan selama Nabi
masih hidup, yang kemudian diwariskan kepada para “pewarisnya” yakni
Wali Allah.
Tetapi para Wali sesungguhnya tidak menganggap penting karamah ini,
karena ia bukan tujuan, dan bahkan merupakan ujian dan hijab tersendiri,
yang bisa memalingkan mereka dari jalan menuju Allah. Bagi sebagian
Sufi, tidak adanya karamah dalam diri seorang Wali tidak secara otomatis
menggugurkan kewaliannya. Bahkan para Sufi berkali-kali memperingatkan
bahwa keistimewaan khawariq al-adah yang dimiliki seseorang bukan
satu-satunya patokan yang menunjukkan seseorang adalah Wali Allah. Ada
jenis keajaiban lain yang bukan dari dunia kesucian, yang dinamakan
istidraj. Kemampuan jenis istidraj ini dimiliki oleh musuh-musuh Allah.
Orang yang mengabdi pada setan, jin, dan sejenisnya bisa melakukan
hal-hal luar biasa seperti terbang, masuk ke rumah yang terkunci,
menghilang, kebal, dan sebagainya.
Nah, orang-orang sakti yang bukan Sufi kadang bertingkah dan berpakaian
bak ulama, dan kerap memamerkan kemampuan supranaturalnya. Sebagian
penipu yang cerdik memanfaatkan kemampuan istimewanya untuk kepentingan
duniawi. Karena para Wali cenderung menyembunyikan kemampuan
istimewanya, sedangkan para penipu cenderung memamerkan kemampuannya,
maka yang terjadi adalah kekacauan pemahaman tentang konsep karamah dan
kewalian.
Karamah ini bukan muncul atas dasar keinginan sang Wali itu sendiri, dan
inilah yang membedakannya dengan istidraj atau kemampuan luar biasa
lainnya. Wali akan menampakkan karamahnya hanya jika Allah
memerintahkannya atau mengilhamkannya. Sedangkan istidraj masih disusupi
oleh keinginan, atau nafsu, dari orang yang melakukannya, dan bisa
ditunjukkan sesuka hati oleh orang yang memilikinya. Hal inilah yang
jarang disadari oleh orang awam dan orang-orang yang mengingkari
karamah. Dalam sebuah kesempatan, seorang Kiai mengatakan kepada penulis
mengenai karamah kata-kata, “Hal seperti ini tidak dilakukan dengan
sengaja atau menuruti keinginan.” Maksudnya adalah seseorang tak boleh
dengan sengaja menunjukkan keistimewaannya. Jadi karamah sepenuhnya
adalah lantaran ilham rabbani, bukan atas keinginan sendiri untuk pamer
kesaktian. Maka, jika ada Wali Allah berjalan di atas air, itu bukan
berarti dia sakti, namun karena kedekatannya kepada Allah-lah yang
menyebabkan air, yg juga makhluk, diperintah oleh Allah untuk membantu
sang Wali menyeberang dengan mengubah aktualitas modus cairnya menjadi
modus padat sehingga sang wali bisa berjalan di atasnya. Ini berbeda
dengan istidraj, di mana orang yg berjalan di atas air bukan karena
airnya berubah modusnya, namun karena si orang sakti itu berjalan
melayang dengan bantuan makhluk lain, semisal Jin atau bahkan iblis.
Dengan kata lain, setiap karamah Wali adalah bebas dari keinginan dan
hawa nafsu dan karena karamah muncul lantaran ilham atau iradah Tuhan,
maka selalu ada pelajaran di dalam misah karamah itu bagi siapa saja
yang mau berendah hati untuk mengakui keterbatasan dirinya dan kelemahan
akalnya. Karamah bisa menjadi petunjuk dari Tuhan bagi yang
menerimanya, tetapi bisa juga menyebabkan ketersesatan bagi orang yang
dengan sombong menolak atau mengingkarinya.
Mukjizat dan karamah yang khawariq al-adah semacam ini baru diberikan
kepada hamba-Nya yang sudah demikian dekat dengan Allah dan berhak
menyandang titel “khalifah”-Nya dalam makna yang sesungguhnya.
Terakhir, karena karamah ini sering lebih memesona ketimbang proses di
balik karamah itu, maka berkali-kali para Sufi memperingatkan para
penempuh jalan spiritual agar tidak mencari-cari karamah, karena karamah
bukanlah tujuan. Tindakan sengaja mencari karamah menandakan bahwa sang
pencari masih dikuasai oleh hawa nafsunya dan kurang ikhlas dalam
beribadah kepada Allah, dan “pemaksaan” diri untuk mendapatkan keajaiban
boleh jadi malah memunculkan istidraj. Ibnu Athaillah dalam Kitab
Al-Hikam memperingatkan:
Keinginanmu agar orang-orang mengetahui keistimewaanmu adalah bukti dari
ketidaktulusan dalam penghambaanmu.
Usahamu untuk mengetahui kekurangan dirimu yang tersembunyi dalam dirimu
adalah jauh lebih baik ketimbang usahamu mengetahui hal-hal gaib.
Tidak semua orang yang tampak keistimewaannya (melakukan hal-hal ajaib,
khawariq al-adah) berarti sempurna penyucian dirinya (dari hawa nafsu)
atau penyaringannya (yakni dalam golongan orang-orang arif).
Istiqamah lebih utama ketimbang 1000 karamah.
wa Allahu a'lam
Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=418801693339&1&index=0
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar